[CERPEN] Perenungan


Perenungan
Oleh: Stella Imelda


 “Eh, tolong fotoin kita bertiga dong.”

     Tiga sekawan itu mulai duduk dan memberikan gaya terbaik untuk mengambil gambar yang akan dijadikan kenangan dalam hidup mereka. Tiba-tiba, tiga anak kecil berumur empat atau lima tahun datang menghampiri mereka, salah satunya langsung duduk di sebelah mereka untuk ikut berfoto bersama mereka.

“Ihhhh, gua ga mau ah. Ntar dulu ntar dulu.”
“Dek, sebentar, ya. Kita mau foto dulu,” sahut salah satu dari tiga sekawan itu.
“Udah lah,  ga jadi gua, mereka ngikutin mulu”
“Ya udah, Dina, tolong fotoin gua aja ama mereka,” aku pun mendekati anak-anak kecil itu.

     Sepertinya teman-temanku mulai jijik sama mereka. Melihat anak-anak kecil itu, aku jadi teringat dengan teman baikku. Dia pernah bercerita padaku dulu ia pernah tinggal di panti asuhan. Aku jadi ingin foto bersama dengan anak-anak kecil itu dan menunjukkannnya kepada temanku yang satu ini.

“Tapi bayar, ya,” ucap anak kecil yang perempuan sambil memalingkan muka. Nada ucapannya itu menurutku tidak sopan.
“Ternyata anak jalanan seperti ini ya, tidak ada sopan santun,” kataku dalam hati.
“Mampus lo, Mel. Disuruh bayar,” kata Dina yang aku suruh untuk memotretku dengan mereka.
“Ya udah, dek. Tapi gopek aja ya,”  jawabku iseng.
“Iya, gapapa,”  sahut si perempuan tersebut.

     Aku kaget. Mereka dibayar lima ratus rupiah saja  mau. Mungkin mereka pikir yang penting dapat uang. Dan, ini masih siang, masih jam sekolah. Hari senin pula. Apa mereka tidak bersekolah? Tapi apa alasan mereka mencari uang di kota yang panas siang-siang seperti ini? Dan juga, kesanku terhadap anak jalanan, mereka tidak ada rasa sopan santun sama sekali.

     Setelah ambil foto dengan mereka, kuberi saja selembar lima ribu rupiah kepada anak laki-laki yang botak itu, “Nih, buat kalian jajan ya”. Anak itu menarik uang secara kasar dari tanganku tanpa ucapan teriman kasih. Lalu diberikanlah uang itu kepada temannya, si perempuan kecil yang lagaknya seperti boss.

 “Bentar dulu ya gua hitung dulu duitnya,” ucap si perempuan itu. Aku melihat ada sejumlah recehan disana.
“Dek, kalian sekolah di mana?”
“Eh, kita beli minum dulu yuk, haus.”
Dikacangin.
“Kalian ga sekolah? Ini masih siang lho.”
“Kita ke sana dulu yuk, kayaknya rame tuh.”
“Bentar, hitung dulu duitnya nih.”

Ga tau mereka denger apa engga dah.

“Udah, Mel. Jangan ditanya, mereka kayaknya ga sekolah,” kata si Dina.

     Yah... mungkin saja mereka tidak sekolah. Sopan santunnya saja tidak ada. Mungkin mereka mencari uang itu untuk keperluan hidup. Tapi temanku, Dina bilang seperti ini,”Imel, ngapain lo bayar mereka? Mereka kan disuruh boss-nya. Lu bayar mereka sama aja bayar boss-nya.”

     Aku hanya diam. Mulai terbesit pertanyaan-pertanyaan dalam pikiranku. Apa benar orang dewasa menyuruh  anak-anak kecil untuk mencari uang seperti di televisi-televisi? Lalu mereka disiksa terus kalau saja mereka tidak dapat uang banyak? Kalau sudah besar mereka akan jadi apa? Tetap disuruh mencari uang untuk si boss-nya itu sampai sudah besar? Aku jadi teringat saat aku bercerita dengan teman baikku tentang kisah-kisah lama kami. Ia bercerita tentang bagaimana keadaan di panti asuhan dulu dengan teman-temannya di sana. Panjang, rinci dan jelas. Ia berkata padaku bahwa kebanyakan anak-anak di sana terlalu banyak kurang bersyukur. Belum apa-apa saja sudah mengeluh. Di depan para donatur yang telah memberikan segala macam kebutuhan kami pun kita tidak berterima kasih.

“Walaupun sudah berkali-kali diperingatkan, diceritakan bagaimana keadaan di luar sana, pengurus-pengurus kami bilang kita adalah anak-anak yang paling beruntung. Well, kita tetap saja tidak percaya, kita perlu bukti saat itu. Sekarang? Aku telah melihat dengan mata kepalaku sendiri! Dan aku mempercayainya sekarang. Aku bersyukur bisa keluar dari tempat itu, walaupun membuat sebagian teman-temanku iri, aku bisa tahu bangaimana keadaaan yang sebenarnya di luar gedung yang menurut kita seperti menyiksa dan butuh kebebasan. Dan aku percaya bahwa kakak-kakak pengurus tidak berbohong,” ucapnya saat itu. Aku pun hanya menyimak. Sepertinya ia penuh rasa penyesalan.

“Mungkin aku bisa cerita ke teman-temanku disana, tapi bisa saja mereka tidak percaya karena mereka tidak melihat sendiri. Mungkin jika mereka benar-benar akan kabur dari sana, tidak tahu tujuannya ke arah mana, dan memilih menjadi pengamen dan pengemis di luar sana -yang menurut mereka seperti itu adalah hal enak- mungkin mereka akan tahu. Bagaimana kerasnya, sulitnya, sukarnya untuk bertahan hidup. Well, seharusnya saat itu aku harus bersyukur,” lanjutnya.




0 Response to "[CERPEN] Perenungan"

Posting Komentar